25 Oktober 2012

Cinta Seorang Laki-laki Biasa

Assalamualaikum wr.wbr....

Siang yang begitu panas,suara Takbir telah berlalu, di Lebaran Idul Adha 10 Dzulhijjah 1433H. Dan Kami sampaikan " SELAMAT HARI RAYA IDUL ADHA "
Kami akan menyajikan sebuah True Story dari teman kami. Cerita yang sangat menyentuh hati.
Tanpa banyak kata-kata lagi, silakan disimak dengan baik cerita ini...!!!

Menjelang hari H, Nania masih saja sulit mengungkapkan alasan mengapa dia mau menikah dengan laki-laki itu. Baru setelah menengok ke belakang, hari-hari yang dilalui, gadis cantik itu sadar, keheranan yang terjadi bukan semata hanya miliknya,melainkan menjadi milik banyak orang; Papa dan Mama, Kaka-kaka, Tetangga, dan teman-teman Nania. Mereka ternyata sama herannya. Kenapa? Tanya mereka dihari Nania mengantarkan surat undangan. Saat itu teman-teman baik Nania sedang duduk di kantin menikmati hari-hari sidang yang baru saja berlalu. Suasana sore di kampus sepi.  Berpasang-pasang mata tertuju pada gadis itu. Tiba-tiba saja pipi Nania bersemu merah, lalu matanya berpijar bagaikan lampu neon 15watt. Hatinya sibuk merangkai kata-kata yang barangkali beterbangan di otak melebihi kapasitas. Mulut Nania terbuka. Semua menunggu. Tapi tak ada apapun yang keluar dari sana. Ia hanya menarik nafas, mencoba bicara dan? menyadari, dia tak punya kata-kata.

Dulu gadis berwajah indo itu mengira punya banyak jawaban, alasan detil dan spesifik, kenapa bersedia menikah dengan laki-laki itu. Tapi kejadian di kampus adalah kali kedua Nania yang pintar berbicara mendadak gagap. Yang pertama terjadi pada 3 bulan yang lalu saat Nania menyampaikan keinginan Rafli untuk melamarnya. Arisan keluarga Nania dianggap momen yang tepat  karena semua berkumpul, bahkan hingga generasi ketiga, sebab kaka-kakanya yang sudah berkeluarga membawa serta buntut mereka. Kamu pasti bercanda..!! Nania kaget. Tapi melihat senyum yang tersungging di wajah kaka tertua, disusul senyum serupa dari kaka nomer dua, tiga dan terahir. Suasana sekonyong-konyong hening. Bahkan keponakan-keponakan Nania yang balita melongo dengan gigi-gigi mereka yang ompong. Semua menatap Nania.

Nania serius..!! Tegasnya sambil menebak-nebak, apa lucunya jika Rafli memang melamarnya. Tidak ada yang lucu, suara Papa tegas, Papa hanya tidak mengira Rafli berani melamar anak Papa yang paling cantik..!! Nania tersenyum. Sedikit lega karena kalimat Papa barusan adalah pertanda baik. Perkiraan Nania tidak sepenuhnya benar sebab setelah itu berpasang-pasang mata kembali menghujaninya, seperti tatapan mata penuh selidik seisi ruang pengadilan pada tertuduh yang duduk layaknya pesakitan.

Tapi Nania tidak serius dengan Rafli, kan? Mama mengambil inisiatif bicara, masih seperti biasa dengan nada penuh wibawa, maksud Mama siapa saja boleh datang melamar siapapun, tapi jawabanya tidak harus iya, toh? Nania terkesima. Kenapa? Sebab kamu gadis Papa yang paling cantik. Sebab kamu yang paling berprestasi dibanding kami. Mulai dari ajang busana, sampai lomba beladiri. Kamu juga juara debat bahasa Inggris, juara baca puisi seProvinsi. Suaramu bagus..!! Sebab masa depanmu cerah. Sebentar lagi kamu meraih gelar insinyur. Bakatmu yang lain pun luar biasa. Nania sayang, kamu bisa mendapatkan laki-laki manapun yang kamu mau..!! Nania memandangi mereka, orang-orang yang amat dia kasihi, Papa, Kaka-kaka dan Mama. Takjub dengan rentetan panjang uraian mereka atau satu kata "kenapa" yang barusan Nania lontarkan.

Nania cuma mau  Rafli, sahutnya pendek dengan airmata mengambang dikelopak. Hari itu dia tahu, keluarganya bukan sekedar tidak suka, melainkan sangat tidak menyukai Rafli. Ketidaksukaan yang mencapai stadium empat. Parah. Tapi kenapa? Sebab Rafli cuma laki-laki biasa, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa. Bergantian tiga saudara tua Nania mencoba membuka matanya. Tak ada yang bisa dilihat pada dia, Nania..!! Cukup..!! Nania menjadi marah. Tidak pada tempatnya ukuran-ukuran duniawi menjadi parameter kebaikan seseorang menjadi manusia. Dimana Iman, dimana Tawakkal hingga begitu mudah menentukan masa depan seseorang dengan melihat pencapaianya hari ini?

Sayangnya Nania lagi-lagi gagal membuka mulut dan membela Rafli. Barangkali karena Nania memang tidak tahu bagaimana harus membelanya. Gadis itu tidak punya fakta dan data konkret yang bisa membuat Rafli tampak " luar biasa ". Nania cuma punya idealisme berdasarkan perasaan yang telah menuntunya menapaki hidup hingga umur 23. Dan nalurinya menerima Rafli. Disampingnya Nania bahagia. Mereka ahirnya menikah.

                                                                          ***

Setahun pernikahan. Orang-orang masih sering menanyakan hal itu, masih sering berbisik-bisik di belakang Nania, apa sebenarnya yang dia dilihat dari seorang Rafli? Jeleknya, Nania masih belum mampu juga menjelaskan kelebihan-kelebihan Rafli agar tampak di mata mereka. Dia hanya merasakan cinta begitu besar dari Rafli, begitu besar hingga Nania bisa merasakanya hanya dari sentuhan tangan, tatapan mata, atau cara dia meladeni Nania. Hal-hal sederhana yang membuat perempuan itu sangat bahagia. Tidak ada lelaki yang bisa mencintai sebesar cinta Rafli pada Nania. Nada suara Nania tegas, mantap, tanpa keraguan. Ketiga saudaranya hanya memandang lekat, mata mereka terlihat tak percaya.

Nia, siapapun akan mudah mencintai gadis secantik kamu...!! Kamu adik kami yang tidak hanya cntik, tapi juga pintar..!! Betul. Kamu adik kami yang cantik, pintar dan punya kehidupan yang sukses..!! Nania merasa lidahnya kelu. Hatinya siap memprotes. Dan kali ini dilakukannya sungguh-sungguh. Mereka tak boleh meremehkan Rafli. Beberapa lama keempat adik dan kaka itu beradu argumen. Tapi Rafli juga tidak jelek, Ka..!! Betul. Tapi dia juga tidak ganteng kan? Rafli juga pintar..!! Tidak sepintar mu, Nania. Rafli juga sukses, pekerjaanya lumayan. Hanya lumayan, Nania. Bukan sukses. Tidak sepertimu. Seolah tak ada apapun yang bisa meyakinkan kaka-kakanya, bahwa adik mereka beruntung mendapatkan suami seperti Rafli. Lagi-lagi percuma. Lihat hidupmu, Nania. Lalu lihat Rafli..!! Kamu sukses, mapan, kamu bahkan tidak perlu lelaki untuk menghidupimu. Teganya kaka-kaka Nania mengatakan itu semua. Padahal adik mereka sudah menikah dan sebentar lagi punya anak.

Ketika lima tahun pernikahan berlalu, ocehan itu tak juga berhenti. Padahal Nania dan Rafli sudah memiliki dua orang anak, satu lelaki dan satu perempuan. Keduanya menggemaskan. Rafli bekerja lebih rajin setelah mereka memiliki anak-anak. Padahal itu tidak perlu sebab gaji Nania lebih dari cukup untuk hidup senang. Tak apa, kata lelaki itu, ketika Nania memintanya untuk tidak terlalu memforsir diri. Gaji Nania cukup, maksud Nania jika digabungkan dengan gaji Abang. Nania tak bermaksud menyinggung hati lelaki itu. Tapi dia tak perlu khawatir sebab suaminya yang berjiwa besar selalu bisa menangkaphanya maksud baik.

Sebaiknya Nania Tabungkan saja, untuk jaga-jaga. Ya? Lalu dia mengelus pipi Nania dan mendaratkan kecupan lembut. Saat itu sesuatu seperti kejutan listrik menyentakan otak dan membuat pikiran Nania cerah. Inilah hidup yang diimpikan banyak orang. Bahagia..!! Pertanyaan kenapa dia menikahi laki-laki biasa itu, dari keluarga biasa, dengan pendidikan biasa, berpenampilan biasa, dengan pekerjaan dan gaji yang amat sangat biasa, tak lagi mengusik perasaan Nania. Sebab ketika bahagia, alasan-alasan tak menjadi penting. Menginjak tahun ke7 pernikahan, posisi Nania di kantor semakin gemilang, uang mengalir begitu mudah, rumah Nania besar, anak-anak pintar dan lucu, dan Nania memiliki suami terbaik di dunia. Hidup perempuan itu berada di puncak..!!

Bisik-bisik masih terdengar, setiap Nania dan Rafli melintas dan bergandengan mesra. Bisik orang-orang di kantor, bisik tetangga kanan dan kiri, bisik saudara-saudaranya, bisik Papa dan Mama. Sungguh beruntung suaminya. Istrinya cantik. Cantik ya? Dan kaya..!! Tak imbang..!! Dulu bisik-bisik itu membuatnya frustasi. Sekarang pun masih, tapi Nania belajar untuk bersikap cuek tak peduli. Toh dia hidup dengan perasaan bahagiayang kian membukit dari hari ke hari.

Tahun ke10 pernikahan, hidup Nania masih belum bergeser dari puncak. Anak-anak semakin besar. Nania mengandung yang ke3. Selama kurun waktu itu, tak sekalipun Rafli melukai hati Nania, atau membuat Nania menangis.
                                                                            ***

Bayi yang dikandung  Nania tak juga mau keluar. Sudah lewat dua minggu dari waktunya. Plasenta kamu sudah berbintik-bintik. Sudah tua, Nania. Harus segera dikeluarkan..!! Mula-mula dokter kandungan langganan Nania memasukan sejenis obat ke dalam rahim Nania. Obat itu akan menimbulkan kontraksi hebat hingga perempuan itu merasakan sakit yang teramat sangat. Jika semuanya normal, hanya dalam hitungan jam, mereka akan segera melihat sikecil. Rafli tidak beranjak dari sisi tempat tidur Nania di rumah sakit. Hanya waktu-waktu shalat lelaki itu meninggalkannya sebentar ke kamar mandi, dan menunaikan shalat disisi tempat tidur. Sementara kaka dan orang tua Nania belum satupun yang datang. Anehnya, meski obat ke2 sudah dimasukan, delapan jam setelah obat pertama, Nania tak menunjukan tanda-tanda akan melahirkan. Rasa sakit dan melilit dirasakan Nania per lima menit, lalu tiga menit. Tapi pembukaan berjalan lambat sekali. Baru pembukaan satu. Belum ada perubahan, Bu. Sudah bertambah sedikit, kata sorang suster empat jam kemudian menyemaikan harapan.

Sekarang pembukaan satu lebih sedikit. Nania dan  Rafli berpandangan. Mereka sepakat suster terakhir yang memeriksa memiliki sense of humor yang tinggi. 30jam berlalu. Nania baru pembukaan kedua. Ketika pembukaan pecah, didahului keluarnya darah, mereka terlonjak bahagia sebab dulu-dulu kelahiran akan mengikuti setelah ketuban pecah. Perkiraan mereka meleset. Masih pembukaan dua, Pak..!! Rafli tercengang. Cemas. Nania tak bisa menghibur karena rasa sakit yang sudah tak sanggup lagi ditanggungnya.

Kondisi perempuan itu makin paya. Seajak pagi tak sesuap nasi pun bisa ditelannya. Bang? Rafli termangu. Iba hatinya melihat sang istri memperjuangkan dua kehidupan. Dokter? Kita operasi, Nia. Bayinya mungkin terlilit tali pusar. Mungkin? Rafli dan Nania berpandangan. Kenapa tidak dari tadi kalau begitu? Bagaimana jika terlambat? Mereka berpandangan, Nania berusaha mengusir kekhawatiran. Ia senang karena Rafli tidak melepaskan genggaman tangannya hingga ke pintu kamar operasi. Ia tak suka merasa sendiri lebih awal.

Pembiusan dilakukan, Nania digiring ke ruangan serba putih. Sebuah sekat ditaruh di perutnya hingga dia tidak bisa menyaksikan keterampilan dokter-dokter itu. Sebuah lagu dimainkan. Nania merasa berada dalam sebuah perahu yang diguncang ombak. Berayun-ayun. Kesadarannya naik-turun. Terakhir, telinga perempuan itu sempat menangkap teriakan-teriakan disekitarnya, dan langkah-langkah cepat yang bergerak, sebelum kemudian dia tak sadarkan diri. Kepanikan ada di udara. Bahkan dari luar Rafli bisa menciumnya. Bibir lelaki itu tak berhenti melafalkan dzikir. Seorang dokter keluar, Rafli dan keluarga Nania mendekat. Pendarahan hebat..!!

Rafli membayangkan sebuah sumber air yang meluap, berwarna merah. Ada varises di mulut rahim yang tidak terdeteksi dan entah bagaimana pecah..!! Bayi mereka selamat, tapi Nania dalam kondisi kritis. Mama Nania yang baru tiba, menangis. Papa termangu lama sekali. Saudara-saudara Nania menyimpan isak, sambil menenangkan orangtua mereka. Rafli seperti berada dalam atmosfer yang berbeda. Lelaki itu tercenung beberapa saat, a rasa cemas yang mengalir di pembuluh-pembuluh darahnya dan tak bisa dihentikan, menyebar dan meluas cepat seperti kanker. Setelah itu adalah hari-hari penuh doa bagi Nania.

                                                                              ***

Sudah seminggu lebih Nania koma. Selama itu Rafli bolak-balik dari kediamannya ke rumah sakit. Ia harus membagi perhatian bagi Nania dan juga anak-anak. Terutama anggota keluarganya yang baru, si kecil. Bayi itu sungguh menakjubkan, fisiknya sangat kuat, juga daya hisapnya. Tidak sampai empat hari, mereka sudah bolah membawanya pulang. Mama, Papa dan ketiga saudara Nania terkadang ikut menunggui Nania di rumah sakit, sesekali mereka kerumah dan melihat perkembangan si kecil. Walau tak banyak, mulai terjadi percakapan antara pihak keluarga Nania dengan Rafli. Lelaki itu sungguh luar bias. Ia nyaris tak pernah meninggalkan rumah saki, kecuali untuk melihat anak-anak di rumah. Syukurnya pihak perusahaan tempat Rafli bekerja mengerti dan memberikan ijin penuh. Toh, dedikasinya terhadap kantor tidak perlu diragukan.

Begitulah Rafli menjaga Nania siang dan malam. Dibawanya sebuah Quran kecil, dibacakanya dekat telinga Nania yang terbaring di ruang ICU. Kadang perawat dan pengunjung lain yang kebetulan menjenguk sanak famili mereka, melihat lelaki dengan berpenampilan sederhana itu bercakap-cakap dan becanda mesra.
Rafli percaya meskipun tidak mendengar, Nania bisa merasakan kehadirannya. Nania, bangun, cinta? Kata-kata itu dibisikannya berulang-ulang sambil mencium tangan, pipi dan kening istrinya yang cantik. Ketika sepuluh hari berlalu, dan pihak keluarga mulai pesimis dan berfikir untuk pasrah, Rafli masih berjuang. Datang setiap hari ke rumah sakit, mengaji dekat Nania sambil menggenggam tangan istrinya mesra. Kadang lelaki itu membawa buku-buku kesukaan Nania ke rumah sakit dan membacakannya dengan suara pelan.

Memberikan tambahan dibagian ini dan itu. Sambil tak bosan-bosannya berbisik, "Nania, bangun, Cinta?" Malam-malam penantian dilewatkan Rafli dalam sujud dan permohonan. Asalkan Nania sadar, yang lain tak jadi soal. Asalkan dia bisa melihat lagi cahaya di mata kekasihnya, senyum di bibir Nania, semua yang menjadi sumber semangat bagi orang-orang di sekitarnya, bagi Rafli. Rumah mereka tak sama tanpa kehadiran Nania. Anak-anak merindukan ibunya. Di luar itu Rafli tak mempedulikan yang lain, tidak wajahnya yang lama tak bercukur, atau badanya yang semakin kurus akibat sering lupa makan. Ia ingin melihat Nania lagi dan semua antusias perempuan itu di mata, gerak bibir, kernyitan kening, serta gerakan-gerakan kecil lain di wajahnya yang cantik. Nania sudah tidur terlalu lama.

Pada hari ke tigapuluh tujuh doa Rafli terjawab. Nania sadar dan wajah penat Rafli adalah yang pertama ditangkap matanya. Seakan telah begitu lama. Rafli menangis, menggenggam tangan Nania dan mendekapkannya ke dadanya, mengucapkan syukur berulang-ulang dengan airmata yang meleleh. Asalkan Nania sadar, semua tak penting lagi. Rafli membuktikan kata-kata yang diucapkanya beratus kali dalam doa. Lelaki biasa itu tak pernah lelah merawat Nania selama sebelas tahun terakhir. Memandikan dan menyuapi Nania, lalu mengantar anak-anak ke sekolah satu per satu. Setiap sore setelah pulang kantor, lelaki itu cepat-cepat menuju rumah dan menggendong Nania ke teras, melihat senja datang sambil memangku Nania seperti remaja belasan tahun yang sedang jatuh cinta.

Ketika malam Rafli mendandani Nania agar cantik sebelum tidur. Membersihkan wajah pucat perempuan cantik itu, memakaikannya gaun tidur. Ia ingin Nania selalu merasa cantik. Meski seringkali Nania mengatakan itu tak perlu. Bagaimana bisa merasa cantik dalam keadaan lumpuh? Tapi Rafli dengan upayanya yang terus menerus dan tak kenal lelah selalu meyakinkan Nania, membuatnya pelan-pelan percaya bahwa dialah perempuan paling cantik dan sempurna di dunia.
Setidaknya di mata Rafli. Setiap hari minggu Rafli mengajak mereka sekeluarga jalan-jalan keluar. Selama itu pula dia selalu menyertakan Nania. Belanja, makan di restoran, nonton bioskop, rekreasi kemanapun Nania harus ikut. Anak-anak, seperti juga Rafli, melakukan hal yang sama, selalu melibatkan Nania. Begitu bertahun-tahun. Awalnya tentu Nania sempat merasa risih dengan pandangan orang-orang di sekitarnya. Mereka semua yang menatapnya iba, lebih-lebih pada Rafli yang berkeringat mendorong kursi roda Nania kesana kemari.

Masih dengan senyum hangat diantara wajahnya yang bermanik keringat. Lalu berangsur Nania menyadari, mereka, orang-orang yang ditemuinya di jalan, juga tetangga-tetangga, sahabat dan teman-teman Nania tak puas hanya memberi pandangan iba, namun juga mengomentari, mengoceh, semua berbisik-bisik. Baik banget suaminya..!! Lelaki lain mungkin sudah cari perempuan kedua..!! Nania beruntung..!! Ya, memiliki seseorang yang menerima dia apa adanya. Tidak, tidak cuma menerima apa adanya, kalian lihat bagaimana suaminya memandang penuh cinta. Sedikit pun tak pernah bermuka masam..!! Bisik-bisik serupa juga lahir dari kakanya yang tiga orang, Papa Mama. Bisik-bisik yang serupa dengungan dan sempat membuat Nania makin frustasi, merasa tak berani, merasa?

Tapi dia salah. Sangat salah. Nania menyadari itu kemudian. Orang-orang di luar mereka memang tetap berbisik-bisik, barangkali akan selamanya begitu. Hanya saja, bukankah bisik-bisik itu kini berbeda bunyi? Dari teras Nania menyaksikan anak-anaknya bermain basket dengan ayah mereka.
Sesekali perempuan itu ikut tergelak melihat kocaknya permainan. Ya. Duapuluh dua tahun pernikahan.
Nania menghitung-hitung semua, anak-anak yang beranjak dewasa, rumah besar yang mereka tempati, kehidupan yang lebih dari yang bisa dia syukuri. Meski tubuhnya tak berfungsi sempurna.

Meski kecantikannya tak lagi sama karena usia, meski karir telah direbut takdir dari tangannya.
Waktu telah membuktikan segalanya.
" Cinta luar biasa dari laki-laki biasa yang tak pernah berubah, untuk Nania "

Catatan : True Story

Kami sampaikan terimakasih kepada salah satu Admin kami, atas izinnya untuk diposting disini.

1 komentar:

  1. suatu kisah yg sangat inspirasi dan penuh motivasi...

    BalasHapus